KERAJAAN
ISLAM BANTEN
Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal
sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan
Demak memperluas
pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau
Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian
menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan
Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut, dan
mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan kemudian hari menjadi pusat pemerintahan
setelah Banten menjadi kerajaan sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan
mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa
telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan
dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta
ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten
atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai
simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan di masa-masa akhir pemerintanannya,
para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia
Belanda.
Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau
Jawa ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya sedikit
dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang menguasai
Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Dan juga dikaitkan
dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri pada abad ke 14 dengan
ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat kota Bogor sekarang ini. Berdasarkan
catatan, Kerajaan ini mempunyai dua pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang
sekarang dikenal sebagai Jakarta, dan Pelabuhan Banten.
Dari beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui,
lokasi awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10
Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan dari
Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten Girang” atau
Banten di atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan posisi geografisnya.
Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai Banten, dikarenakan posisi
Banten sebagai pelabuhan yang penting dan strategis di Nusantara, baru
berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam di permulaan abad ke 16.
Penelitian yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988
pada program Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan
sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak bukti
baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten
ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan ditemukannya bukti baru
bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12 Masehi. Banten pada masa itu
sudah merupakan kawasan pemukiman yang penting yang ditandai dengan telah
dikelilingi oleh benteng pertahanan dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai
dari pembuat kain, keramik, pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik
manik kaca. Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan
hubungan internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan
beberapa kawasan di India.
Secara nyata, tidak ada keputusan final yang dapat diambil sebelum
penelitian dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa keberadaan
Banten sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya dimulai pada
saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat dipertahankan.
Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan
sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam
Banten terbentuk.
Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai
perdagangan dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada Lada
yang banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa Cina juga sangat
berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka telah berlayar ke
pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun Kerajaan Pajajaran
masih berdiri, namun kekuasaannya mulai menyusut. Kelemahan ini tidak luput
dari perhatian Kerajaan Islam Demak. Beberapa dekade sebelumnya Kerajaan Demak
telah menguasai bagian timur pulau Jawa dan pada saat itu bermaksud untuk juga
menguasai pelabuhan Sunda. Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam,
melihat makin berkembangnya komunitas ulama dan pedagang Islam yang semakin
memiliki peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”.
Menghadapi ancaman ini, Otoritas Banten, baik atas inisiatifnya
sendiri maupun atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa Portugis di Malaka,
yang telah berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata otoritas Banten,
bangsa Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis sangat anti
Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di sekitar Banten.
Banten, di sisi lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi Portugis. Negosiasi
ini di mulai tahun 1521 Masehi.
Tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya
urusan ini, mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme.
Perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari perlindungan
yang diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan
lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat Tangerang.
Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi tingginya tingkat
kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang
tidak diragukan lagi untuk dua alasan : yang pertama, agar Portugis dapat
menahan kapal yang berlayar dari Demak, dan yang kedua untuk menahan agar
armada Portugis yang sangat kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota
Banten. Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang
tak terbatas bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya
armada Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang
bertanggungjawab akan pembangunan benteng.
Sementara itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga
armada Portugis gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang
dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai, bagian utara
Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada saat itu telah
menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan ajaran agama
Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya diterima dengan baik oleh pihak
otoriti, akan tetapi Ia tetap meminta Demak mengirimkan pasukan untuk menguasai
Banten ketika Ia menilai waktunya tepat. Dan adalah puteranya, Hasanudin, yang
memimpin operasi militer di Banten. Islam mengambil alih kekuasaan pada tahun
1527 M bertepatan dengan datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya
perjanjian antara Portugis dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah siapapun
untuk merapat ke Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak
kedua pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak
lagi dapat ditolak oleh Pakuan.
Sebagaimana telah sebelumnya dilakukan di Jawa Tengah, Kaum
Muslim, sekarang merupakan kelas sosial baru, yang memegang kekuasaan politik
di Banten, dimana sebelumnya juga telah memegang kekuasaan ekonomi. Putera
Sunan Gunung Jati, Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan Banten oleh Sultan
Demak, yang juga menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Dengan itu, sebuah
dinasti baru telah terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang baru didirikan.
Dan Banten dipilih sebagai ibukota Kerajaan baru tersebut.
Berdirinya
kesultanan Banten diawali ketika kesultanan Demak memperluas pengaruhnya ke
jawa barat. Pada tahun 1524, Sunan Gunung Jati alias Syarif Hidayatullah
bersama pasukan demak menaklukkan penguasa banten, dan mendirikan kesultanan
banten yang berada di bawah pengaruh demak.
Kota banten terletak di pesisir selat sunda, dan merupakan pintu gerbang yang menghubungkan Sumatra dan jawa. Posisi banten yang sangat strategis ini menarik perhatian Demak untuk menguasainya. Di tahun 1525 – 1526 pasukan demak bersama Sunan Gunung Jati berhasil menguasai baten.
Sebelum banten berdiri sebagai kesultanan, wilayah ini termasuk bagian kerajaan pajajaran yang beragama hindu. Pada awal abad ke – 16, yang berkuasa di banten adala prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan kadipaten di banten Girang. Adapun daerah Surasowan hanya berfungsi sebagai kota pelabuhan. Menurut berita Joad Barros (1616), wartawan Portugis, diantara pelabuhan yang tersebar di wilayah pajajaran, pelabuhan sunda kelapa dan banten merupakan dua pelabuhan terbesar yang dikungjungi para saudagar dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian besar lada dana hasil negeri lainnya diekspor.
Pada masa lalu, banten adalah semacam kota metropolitan. Ia menjadi pusat perkembangan pemerintahan kesultanan banten, yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad. Menurut babad pajajaran, masuknya islam dibanten dimulai ketika Prabu Siliwangi sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. untuk mencari tahu tentang arti itu, ia mengutus kian Santang, penasehat kerajaan pajajaran yang mengatakan bahwa cahaya di atas banten adalah cahaya islam. Kian Santang pun memeluk islam dan kembali ke pajajaran untuk mengislamkan masyarakat. Upaya kian santang hanya berhasil untuk beberapa orang saja, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, pajajaran menjadi berantakan.
Kota banten terletak di pesisir selat sunda, dan merupakan pintu gerbang yang menghubungkan Sumatra dan jawa. Posisi banten yang sangat strategis ini menarik perhatian Demak untuk menguasainya. Di tahun 1525 – 1526 pasukan demak bersama Sunan Gunung Jati berhasil menguasai baten.
Sebelum banten berdiri sebagai kesultanan, wilayah ini termasuk bagian kerajaan pajajaran yang beragama hindu. Pada awal abad ke – 16, yang berkuasa di banten adala prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan kadipaten di banten Girang. Adapun daerah Surasowan hanya berfungsi sebagai kota pelabuhan. Menurut berita Joad Barros (1616), wartawan Portugis, diantara pelabuhan yang tersebar di wilayah pajajaran, pelabuhan sunda kelapa dan banten merupakan dua pelabuhan terbesar yang dikungjungi para saudagar dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian besar lada dana hasil negeri lainnya diekspor.
Pada masa lalu, banten adalah semacam kota metropolitan. Ia menjadi pusat perkembangan pemerintahan kesultanan banten, yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad. Menurut babad pajajaran, masuknya islam dibanten dimulai ketika Prabu Siliwangi sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. untuk mencari tahu tentang arti itu, ia mengutus kian Santang, penasehat kerajaan pajajaran yang mengatakan bahwa cahaya di atas banten adalah cahaya islam. Kian Santang pun memeluk islam dan kembali ke pajajaran untuk mengislamkan masyarakat. Upaya kian santang hanya berhasil untuk beberapa orang saja, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, pajajaran menjadi berantakan.
Pada tahun 1526,
gabungan pasukan Demak dan Cirebon bersama dengan laskar marinir maulana
Hasanuddin (putra Syarif Hidayatullah) tidak banyak mengalami kesulitan dalam
menguasai banten. Bahkan ada yang menyebutkan, Prabu Pucuk Umum menyerahkan
banten dengan Sukarela. Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten
pun dipindahkan ke Surasowan. Pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan
untuk memudahkan hubungan antara pesisir melalui selat sunda dan selat malaka.
Hal ini berkaitan pula dengan situasi asia tenggara kala itu. perlu dingat,
malaka telah dikuasi portugis, sehingga pedagang yang enggan berhubungan dengan
portugis mengalihkan rute niaga ke selat sunda.
Sejak itu, pelabuhan banten semakin ramai. Atas penunjukkan Sultan Demak, pada tahun 1526 maulana Hasanuddin diangkat sebagai Adipati Banten. Di tahun 1552, banten diubah menjadi negara bagian Demak, tetap dengan Maulana Hasanuddin sebagai pemimpinnya. Pada waktu demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan banten sebagai Negara Merdeka.
Sultan maulana Hasanuddin memerintah banten selama 18 tahun (1552 – 1570). Ia telah memberikan andil besar dalam meletakkan fondasi islam di Nusantara. Selain dengan mendirikan masjid dan pesantren, Maulana Hasanuddin juga mengirim ulama ke berbagai daerah yang telah dikuasainya. Usaha penyebarluasan Islam dan pembangunan Banten itu dilanjutkan oleh para penerusnya. Pada masa jayanya, wilayah kekuasaan Kesultanan Banten Meliputi Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tangeran.
Saya sekali kejayaan itu mulai berakhir pada masa sultan Ageng Tirtayasa. Kesultanan Banten mengalami kehancuran Akibat ulah anak kandung Sultan Ageng Sendiri, yaitu sultan Haji. Pada waktu itu, Sultan Haji diserahi amanat oleh ayahnya sebagai sultan muda yang berkedudukan di Surasowan. Namun, sultan haji berdekat-dekat dengan kompeni, bahkan memberi mereka keleluasaan untuk berdagang di pelabuhan banten. Hal itu sangat tidak disukai oleh Sultan Ageng. Hingga akhirnya Sultan Ageng menyerang Istana Surasowan pada 27 Februari 1682. terjadilah perang dasyat , Sultan Ageng Tirtayasa melawan kompeni yang mendukung Sultan Haji. Istana Surasowan mengalami kehancuran pertama akibat perang tersebut.
Meskipun istana Surasowan dibangun kembali dengan megah oleh Sultan haji atas bantuan Arsitek Belanda, namun pemberontakan demi pembrontakan oleh rakyat banten tidak pernah surut. Sultan Ageng Tirtayasa memimpin perang gerilya bersama anaknya yang setia, Pangeran Purbaya, serta Syekh Yusuf, seorang ulama dari Makassar sekaligus menantunya. Akan tetapi, akhirnya Kompeni mengerahkan kekuatan penuh, dan Sultan Ageng dapat dikalahkan.
Sejak itu, pelabuhan banten semakin ramai. Atas penunjukkan Sultan Demak, pada tahun 1526 maulana Hasanuddin diangkat sebagai Adipati Banten. Di tahun 1552, banten diubah menjadi negara bagian Demak, tetap dengan Maulana Hasanuddin sebagai pemimpinnya. Pada waktu demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan banten sebagai Negara Merdeka.
Sultan maulana Hasanuddin memerintah banten selama 18 tahun (1552 – 1570). Ia telah memberikan andil besar dalam meletakkan fondasi islam di Nusantara. Selain dengan mendirikan masjid dan pesantren, Maulana Hasanuddin juga mengirim ulama ke berbagai daerah yang telah dikuasainya. Usaha penyebarluasan Islam dan pembangunan Banten itu dilanjutkan oleh para penerusnya. Pada masa jayanya, wilayah kekuasaan Kesultanan Banten Meliputi Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tangeran.
Saya sekali kejayaan itu mulai berakhir pada masa sultan Ageng Tirtayasa. Kesultanan Banten mengalami kehancuran Akibat ulah anak kandung Sultan Ageng Sendiri, yaitu sultan Haji. Pada waktu itu, Sultan Haji diserahi amanat oleh ayahnya sebagai sultan muda yang berkedudukan di Surasowan. Namun, sultan haji berdekat-dekat dengan kompeni, bahkan memberi mereka keleluasaan untuk berdagang di pelabuhan banten. Hal itu sangat tidak disukai oleh Sultan Ageng. Hingga akhirnya Sultan Ageng menyerang Istana Surasowan pada 27 Februari 1682. terjadilah perang dasyat , Sultan Ageng Tirtayasa melawan kompeni yang mendukung Sultan Haji. Istana Surasowan mengalami kehancuran pertama akibat perang tersebut.
Meskipun istana Surasowan dibangun kembali dengan megah oleh Sultan haji atas bantuan Arsitek Belanda, namun pemberontakan demi pembrontakan oleh rakyat banten tidak pernah surut. Sultan Ageng Tirtayasa memimpin perang gerilya bersama anaknya yang setia, Pangeran Purbaya, serta Syekh Yusuf, seorang ulama dari Makassar sekaligus menantunya. Akan tetapi, akhirnya Kompeni mengerahkan kekuatan penuh, dan Sultan Ageng dapat dikalahkan.
Setelah kekalahan itu,
para pengikut Sultan Ageng Tirtayasa menyebar ke berbagai daerah untuk
berdakwah. Syekh Yusuf dibuang ke Srilanka, tempat ia memimpin gerakan perlawan
lagi, sebelum akhirnya dibuang ke Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, Syekh
Yusuf menyebarkan Islam, sampai wafatnya.
Sementara itu, banten jatuh menjadi boneka belanda. Daendels yang membangun jalan raya Anyer – Panarukan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Baten ke Serang. Istana Surosowan ia bakar habis pada 1812. dapat dikatakan, pada tahun itulah Kesultanan Banten runtuh.
Sementara itu, banten jatuh menjadi boneka belanda. Daendels yang membangun jalan raya Anyer – Panarukan kemudian memindahkan pusat kekuasaan Baten ke Serang. Istana Surosowan ia bakar habis pada 1812. dapat dikatakan, pada tahun itulah Kesultanan Banten runtuh.
Keberadaan dan Kejayaan
Kesultanan Banten pada masa lalu dapat dilihat dari peninggalan sejarah,
seperti Masjid Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahakan Sultan
Maulana Hasanuddin. Arsitektur masjid tersebut merupakan perpaduan antara
arsitektur asing dan jawa. Bangunan lain yang membuktikan keberadaan Kesultanan
Banten masa lampau adalah bekas istana Surasowan, yang letakkanya berdekatan
dengan Masjid Agung Banten. Istana Surasowan yang kini tinggal puing-puing itu dikelilingi
oleh tembok benteng yang tebal dengan luas kurang lebih 4 hektare, berbentuk
persegi empat panjang. Benteng tersebut kini masih tegak berdiri, di samping
beberapa bagian kecil yang telah runtuh.
Dalam situs kepurbakalaan banten, masih ada beberapa bangunan lain, misalnya menara banten, masjid Pacinan Tinggi, Benteng Speelwijk, Meriam Ki Amuk, Watu Gilang, dan pelabuhan perahu karangantu.
Dalam situs kepurbakalaan banten, masih ada beberapa bangunan lain, misalnya menara banten, masjid Pacinan Tinggi, Benteng Speelwijk, Meriam Ki Amuk, Watu Gilang, dan pelabuhan perahu karangantu.
Para peziarah mulai ramai berdatangan di Masjid Agung Banten
setelah terhenti selama Ramadhan. Ratusan pedagang telah membuka kiosnya
kembali, setelah aktivitasnya terhenti sebulan lebih. Mereka dari pagi hingga
malam, berjajar sepanjang 100 meter hingga ke pelataran masjid agung yang
dibangun Maulana Hasanuddin, sultan Banten pertama sekitar lima abad lalu.
Memasuki bagian depan masjid bersejarah ini, yang memiliki
menara setinggi 30 meter, pengunjung terlebih dulu melewati Istana Sorosowan
yang kini hanya tinggal puing-puing. Bahkan, para peziarah umumnya tidak
memperhatikan keberadaan bekas istana, yang di abad ke-16, ke-17, dan ke-18
pernah menjadi pusat kegiatan Kerajaan Islam Banten. Istana ini
dihancurluluhkan Gubernur Jenderal Marsekal Willem Herman Daendels pada pada 12
Nopember 1808. Alasannya, karena berang terhadap sultan yang tidak mau
mengerahkan rakyatnya menjadi korban pekerja rodi untuk membangun jalan
pertahanan di Ujung Kulon, yang kala itu masih berawa-rawa. Sejak saat itu
selama hampir 200 tahun, istana yang megah dan pernah menjadi kediaman 21
sultan Banten dibiarkan merana.
Belanda sendiri, yang selalu direpotkan para pejuang Islam
Banten yang tidak henti-hentinya melakukan perlawanan, sejak lama berniat
menghancurkannya. Gubernur jenderal Ryklop van Coan, dalam suratnya kepada
pemerintah Belanda 31 Januari 1679, menyatakan : Yang amat perlu untuk
pembinaan negeri kita adalah penghancuran dan penghapusan Banten. Banten harus
ditaklukkan, bahkan dihancurleburkan, atau Kompeni yang lenyap.
Kini, rakyat Banten yang sudah setahun berprovinsi, merasa
mempunyai wkatu paling tepat untuk menghidupkan kembali kemegahan Istana
Sorosowan, meski hanya berupa replikanya. Gambarnya selam aini tersimpan di
Belanda. Upaya ini sekaligus ditujukan untuk menjadikan kota Banten Lama
sebagai Pusat Kebudayaan Banten. Dengan begitu, rakyat di provinsi paling barat
Pulau Jawa ini akan memiliki kembali kebanggaan sejarahnya yang gemilang.
Untuk mewujudkan cita-cita ini, menurut Tubagus Ismetullah Al
Abas, dari Keluarga Besar Kesultanan Banten dan keturunan ke-12 Maulana
Hasanuddin, para tokoh dan budayawan Banten akan bertemu akhir bulan Syawal
ini. Pertemuan silaturahmi yang akan diikuti tokoh Banten dari berbagai tempat
di Tanah Air, akan diadakan di Pendopo Masjid Agung. Sekaligus sebagai khaul
ke-431 Sultan Maulana Hasanuddin, yang dimakamkan di dalam kompleks masjid. Diharapkan
sekitar 50 alim-ulama dan 500 santri juga akan hadir.
Berdirinya Kerajaan Islam Banten di mulai ketika Syarif
Hidayatullah beserta 98 orang muridnya dari Cirebon berusaha mengislamkan
Banten. Mengikuti jejak Nabi Muhammad saw, dengan akhlak mulia, penuh kesabaran
dan ketekunan, dalam dakwahnya ia mendapatkan banyak pengikut. Di antaranya
adalah bupati Banten dan hampir seluruh rakyatnya. Bahkan, bupati mengawinkan
putrinya dengan Syarif Hidayatullah. Dan, lahirlah Maulana Hasanuddin, yang
kemudian menjadi sultan Banten pertama, setelah ayahnya diangkat sebagai
Temanggung di Cirebon.
Maulana Hasanuddin pun meneruskan usaha ayahnya menyebarkan
Islam. Berkat kelembutan hatinya, berbondong-bondonglah orang yang masuk Islam.
Menurut sejarawan Inggris, Arnold Toynbee, di antara para mualaf terdapat 800
orang petapa dan resi. Sehingga di Banten kala itu telah terbentuk masyarakat
Islami. Hasanuddin mendirikan kota Banten dan istana Sorosowan pada 8 Oktober
1526, bertepatan 1 Muharam 933 H.
Sebagaimana layaknya sebuah kota Islam, Banten Lama juga
memiliki beberapa ciri seperti kota-kota Islam yang sezaman di bagian dunia. Di
tengah kota terdapat alun-alun, yang digunakan bukan saja untuk kegiatan
ketentaraan dan kesenian rakyat, tetapi juga sebagai pasar di pagi hari. Istana
Sorosowan terletak di bagian selatan alun-alun. Di sampingnya terdapat sebuah
bangunan datar yang ditinggikan dan beratap, disebut srimanganti, yang
digunakan sebagai tempat bertatap muka raja dengan rakyat. Sedangkan di sebelah
barat alun-alun didirikan sebuah masjid agung. Di masjid inilah para sultan
menjadi iman, sekaligus khatib pada shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Penduduk
Banten pada masa Maulana Hasanuddin, menurut sejarawan Prof Djajaningrat
diperkirakan 70 ribu jiwa. Hal ini menunjukkan betapa padatnya kota ini.
Sedangkan, menurut Cornelis de Houtman, ekspeditor pertama Belanda yang datang
di Banten (1598), kota ini besarnya hampir sama dengan Amsterdam.
Karena kebesarannya di masa lalu itulah, mensurut Tb Ismetullah
melalui pertemuan akhir Syawal ini akan dicetuskan membangun kembali Pusat
Kebudayaan Banten, dengan istananya. “Banten tidak perlu ditenggelamkan. Karena
kalau tidak ada perhatian terhadap Banten, maka sama saja dengan pemerintah
kolonial Belanda,” ujar sesepuh Keluarga Besar Kesultanan Banten itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar